Kali ini ane akan sedikit mengupas
tentang fenomena birokrasi yan ane namain korupsi tidak sengaja. Istilah ini
ane pakai untuk menggambarkan tindakan para elit birokrat dan pemangku
kepentingan, baik itu di daerah maupun di pusat sono yang secara tidak langsung
sebenarnya telah melakukan tindakan inefisiensi (merugikan) keuangan
daerah/negara, namun mengingat hal ini sudah dianggap biasa atau karena
alibi lainnya, hal ini kurang atau jarang diperhatikan.Apa yang ane tulis ini
hanya sekadar torehan terhadap apa yang terjadi di sekitar ane dan pendapat
pribadi ane yang barangkali tidak setiap orang setuju atau masih banyak
kekurangan. Tapi biarlah, timbang pikiran nganggur, hehe.
Korupsi
tidak sengaja biasanya diawali dengan 'niat baik', secara etika birokrasi, atau
pun politis. Ane tidak akan mengupas sisi positif kenapa seseorang dimutasi,
melainkan lebih kepada dampak kerugian daerah/negara setelah pegawai terkait
dimutasi. Dalam pandangan ane terdapat beberapa adat kebiasaan atau perilaku
yang dapat ane kategorikan hal ini, antara lain:
1. Mutasi pegawai tidak sesuai kompetensinya
Biasanya ini dilakukan oleh para elit
birokrasi dengan alasan penyegaran organisasi atau personil terkait, namun jika
ditelusuri lebih dalam sebenarnya hanya permasalahan like dan dislike. Hal yang
membuat tidak efisien dan terkesan menghamburkan sumber daya terjadi ketika:
a) Personil terkait sebenarnya sudah
dapat bekerja dengan baik karena sudah sesuai dengan disipilin ilmu, minat, dan
kemampuannya.
b) Personil/pejabat terkait belum
rampung menyelesaikan tugasnya di lingkup birokrasi. Hal ini terjadi ketika
seorang PPTK sudah all out merencanakan sesuatu kegiatan, namun di tengah
perjanalan dia harus mengalami nasib dimutasi ke lain tempat yang berakibat
rencana kegiatan tidak akan berjalan optimal, apalagi penggati pegawai terkait
masih belum memahami tupoksinya.
2. Merekayasa permintaan bantuan
hibah/bansos.
Sebagian besar masyarakat Indonesia
masih beranggapan bahwa mereka layak untuk mendapatkan bantuan hibah/bansos.
Padahal kalau kita telusuri terdapat syarat-syarat tertentu berdasarkan
peraturan perundangan dimana seseorang atau kelompok masyarakat dikatakan layak
untuk menerima bantuan tersebut. Masih terdapat banyak anggota masyarakat lain
yang jauh lebih membutuhkan dari pada kita. Apabila kita menahan diri untuk
meminta dana hibah yang tidak begitu perlu, uang tersebut tidak serta merta
hangus, melainkan dialihkan kepada mereka yang lebih memerlukan.
3. Perencanaan yang kurang matang
Dalam suatu proses bisnis di OPD
memang diperlukan suatu prosedur pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan
ketentuan perundangan yang berlaku agar terbebas dari temuan BPK. Namun
demikian terkadang para elit saking fokusnya pada output kegiatan sampai
melupakan outcome dan manfaatnya bagi masyarakat. Hal yang sering ditemui antara
lain:
a)
Pengadaan
barang dan jasa yang tidak dimanfaatkan (mangkrak)
b)
Bongkar
pasang proyek fisik dalam jangka pendek
c)
Kegiatan
kumpul-kumpul (rapat) yang tidak jelas
Hal ini disebabkan kurang paham dan
ahlinya para pemangku kepentingan dalam mengelola APBD/APBN
4. Ego
Sektoral
Dalam suatu sistem kepemeritahan yang baik
diperlukan pemahaman yang komprehensif tentang apa yang dibutuhkan dalam suatu
masyarakat. Hal ini tentu memerlukan sinergi dari berbagai OPD guna mewujudkan
hal ini, mengingat kebutuhan pelayanan masyarakat terkadang dari berbagai aspek
dari lintas OPD. Ego sektoral tanpa koordinasi tentu sedikit banyak akan
menghambat asas manfaat dari suatu tujuan pembangunan.
5. Peraturan dan Nomenklatur yang Sering Berubah
Adalah baik bagi pemangku kepentingan di
level atas untuk senantiasa melakukan revisi peraturan dan nomenklatur suatu urusan
pemerintahan agar selalu update dengan perkembangan jaman. Namun demikian,
perubahan yang terlalu sering dapat juga mengakibatkan pemborosan keuangan
negara. Jangan lupa, ketika terjadi perubahan peraturan/nomenklatur, seperti
Undang-Undang, Perpres, Permen dan sebagainya, otomatis akan ada tindak lanjut kegiatan
seperti sosialisasi, pembuatan Perda, Perbup, perubahan papan nama, dan
sebagainya yang kesemuanya membutuhkan alokasi anggaran yang relatif besar.